SEJARAH PENULISAN HADIST
A. Penulisan Hadist
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadist, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Qur'an telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Qur'an seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Qur'an. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadist Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda.
Artinya: “Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Qur'an Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Qur'an, hendaklah dihapuskan. ” (HR. Muslim)
Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda:
Artinya: “Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku, selain kebenaran “.
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: “Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah daripadaku, selain Abdullah bin Amr bin As. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya”. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin yang datang kemudian.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis dengan AI-Qur’an.
Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, setelah Al-Qur’an ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada larangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Qur'an dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Dan izin menulis hadis diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.
B. Penghafalan Hadist
Para sahabat dalam menerima hadist dari Nabi SAW. berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan jalan menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadist melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Kemudian terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan, atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.
Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadist yang didengarnya dari Nabi SAW. Di antara sahabat yang paling banyak menghapal/meriwayatkan hadist ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadist. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah:
- Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis.
- Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis.
- Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis.
- Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis.
- Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
- Abu Said AI-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.
C. Penghimpunan Hadist
Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW., masa khulafaur Rasyidin dan sebagian besar masa bani umayyah, hingga akhir abad pertama hijrah, hadist-hadist itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadist berdasarkan kekuatan hapalannya. Memang hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadist-hadist yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadisr Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh khalifah Umar bin Khattab (w. 23/H/644 M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadis. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadisrdalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadist dari para perawinya, mungkin hadist-hadist itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadist-hadist Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadist-hadist Nabi yang terdapat pada para penghafal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi:
Artinya: “Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadist Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadist Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan. “
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadist. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah Khalifah tersebut. Dan Az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadist.
Dari Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, yang di samping pembukuan hadist sekaligus dilakukan usaha menyeleksi hadist-hadist yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.
Metode sanad dan isnad ialah metode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber pembawa berita hadist (perawi) dengan mengetahui keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan di mana ia hidup, kawan semasa, bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas dalam ilmu yang dinamakan ilmu hadist Dirayah, yang kemudian terkenal dengan ilmu Mustalahul hadist.
Setelah generasi Az-Zuhri, kemudian pembukuan hadist dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H) dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadist dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempuma. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H. dilakukan upaya penyempunaan. Mulai waktu itu kelihatan gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan hadist-hadist Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang sampai kepada kita, antara lain AI-Muwatha ‘ oleh imam Malik(w 179 H), AI Musnad oleh Imam Asy-Syafi’l (w 204 H). Pembukuan hadist itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh Imam-lmam ahli hadist, seperti Bukhari, Muslim, Turmuzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain.
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam yaitu: Sahih AI-Bukhari (w 256H), Sahih Muslim (w 261H), Abu Dawud (w 275H), At-Turmuzi (w 267H), Sunan An-Nasai (w 303H), dan Ibnu Majah (w 273H). Tidak sedikit pada “masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar kepada Kutubus sittah tersebut beserta kitab Muwatta dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.
D. Pemalsuan Hadist
Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu syiah, khawarij, dan jumhur. Masing-masing kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah. Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadist-hadist palsu. Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadist palsu. Orang-orang yang mula-mula membuat hadist palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan khawarij dan jumhur, tempat mula berkembangnya hadist palsu adalah daerah Irak tempat kamu syiah berpusat pada waktu itu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadist bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.
Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadistnya tidak boleh diambil darinya:
- Orang yang kurang akal.
- Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya.
- Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
- Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadist yang diriwayatkannya.
Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-perawi hadist yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi hadist yang lemah diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadist-hadist palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hadist berikut hadist-hadist yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadist-hadist palsu tersebut, yaitu antara lain:
- Kitab Tadzkiratul Maudlu’ah oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdizi(w. tahun 507 H).
- Kitab oleh Al-Hasan bin Ibrahim Al-Hamdani.
- Kitab Maudlu’atul Kubra oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H).
Di samping itu para ulama hadist membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadist itu palsu. Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadist itu palsu antara lain:
- Susunan hadist itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi SAW., seperti hadist : Artinya : “Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. “
- Isi maksud hadist tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadist : Artinya : “Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. “
- Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran atau hadist mutawatir, seperti hadist : Artinya : “Anak zina itu tidak akan masuk surga. “
- Hadist tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. : Artinya: “Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. ” (QS. Fatir: 18)
Oleh :
Ishak Othman
“Jadilah Salafi Sejati”, penulis Syaikh DR. Abdussalam bin
Salim as Suhaimi, penerbit Pustaka at Tazkia, 2007
Sabtu, 6 Desember 2008 07:12:21
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar
Komentar anda sangat penting bagi kami, silahkan berkomentar sesuai dengan isi judul postingan. Komentar yang berbau sara atau pornografi akan kami hapus. Buatlah diri anda senyaman mungkin di blog kami. Terimakasih..!